Jumat, 26 Maret 2010

10 Adab Ketika Buang Hajat

Ustadchandra's Blog
Just another WordPress.com weblog
Memandang Wajah Allah, Kenikmatan Tertinggi di Akhirat

Salah satu ideologi dan prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah yang tercantum dalam kitab-kitab aqidah para ulama salaf, adalah kewajiban mengimani bahwa kaum mu’minin akan melihat wajah Allah Ta’ala yang maha mulia di akhirat nanti, sebagai balasan keimanan dan keyakinan mereka yang benar kepada Allah Ta’ala sewaktu di dunia.

Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ahlus sunnah wal jama’ah di zamannya, menegaskan ideologi Ahlus sunnah yang agung ini dalam ucapan beliau, “(Termasuk prinsip-prinsip dasar Ahlus sunnah adalah kewajiban) mengimani (bahwa kaum mu’minin) akan melihat (wajah Allah Ta’ala yang maha mulia) pada hari kiamat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih”[1].

Imam Ismail bin Yahya al-Muzani berkata[2], “Penghuni surga pada hari kiamat akan melihat (wajah) Rabb (Tuhan) mereka (Allah Ta’ala), mereka tidak merasa ragu dan bimbang dalam melihat Allah Ta’ala, maka wajah-wajah mereka akan ceria dengan kemuliaan dari-Nya dan mata-mata mereka dengan karunia-Nya akan melihat kepada-Nya, dalam kenikmatan (hidup) yang kekal abadi…”[3].

Demikian pula Imam Abu Ja’far ath-Thahawi[4] menegaskan prinsip yang agung ini dengan lebih terperinci dalam ucapannya, “Memandang wajah Allah Ta’ala bagi penghuni surga adalah kebenaran (yang wajib diimani), (dengan pandangan) yang tanpa meliputi (secara keseluruhan) dan tanpa (menanyakan) bagaimana (keadaan yang sebenarnya), sebagaimana yang ditegaskan dalam kitabullah (al-Qur’an):

{وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ. إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ}

“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS Al-Qiyaamah:22-23).

Penafsiran ayat ini adalah sebagaimana yang Allah Ta’ala ketahui dan kehendaki (bukan berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia), dan semua hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan masalah ini adalah (benar) seperti yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan, dan maknanya seperti yang beliau inginkan. Kita tidak boleh membicarakan masalah ini dengan menta’wil (menyelewengkan arti yang sebenarnya) dengan akal kita (semata-mata), serta tidak mereka-reka dengan hawa nafsu kita, karena tidak akan selamat (keyakinan seseorang) dalam beragama kecuali jika dia tunduk dan patuh kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengembalikan ilmu dalam hal-hal yang kurang jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya (para ulama Ahlus sunnah)”[5].

Dasar Penetapan Ideologi Ini

1- Firman Allah Ta’ala,

{وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ، إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ}

“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS al-Qiyaamah:22-23)

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman akan melihat wajah Allah Ta’ala dengan mata mereka di akhirat nanti, karena dalam ayat ini Allah Ta’ala menggandengakan kata “melihat” dengan kata depan “ilaa” yang ini berarti bahwa penglihatan tersebut berasal dari wajah-wajah mereka, artinya mereka melihat wajah Allah Ta’ala dengan indera penglihatan mereka[6].

Bahkan firman Allah Ta’ala ini menunjukkan bahwa wajah-wajah mereka yang indah dan berseri-seri karena kenikmatan di surga yang mereka rasakan, menjadi semakin indah dengan mereka melihat wajah Allah Ta’ala. Dan waktu mereka melihat wajah Allah Ta’ala adalah sesuai dengan tingkatan surga yang mereka tempati, ada yang melihat-Nya setiap hari di waktu pagi dan petang, dan ada yang melihat-Nya hanya satu kali dalam setiap pekan[7].

2- Firman Allah Ta’ala,

{لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya” (QS Yunus:26).

Arti “tambahan” dalam ayat ini ditafsirkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih, yaitu kenikmatan melihat wajah Allah Ta’ala, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami makna firman Allah Ta’ala[8]. Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah Ta’ala”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas[9].

Bahkan dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa kenikmatan melihat wajah Allah Ta’ala adalah kenikmatan yang paling mulia dan agung serta melebihi kenikmatan-kenikmatan di surga lainnya[10].

Imam Ibnu Katsir berkata, ”(Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di surga adalah memandang wajah Allah yang maha mulia, karena inilah “tambahan” yang paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allah berikan kepada para penghuni surga. Mereka berhak mendapatkan kenikmatan tersebut bukan (semata-mata) karena amal perbuatan mereka, tetapi karena karunia dan rahmat Allah” [11].

Lebih lanjut imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitab beliau “Ighaatsatul lahafaan”[12] menjelaskan bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat wajah Allah Ta’ala) adalah balasan yang Allah Ta’ala berikan kepada orang yang merasakan kenikmatan tertinggi di dunia, yaitu kesempurnaan dan kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, serta perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya. Beliau menjelaskan hal ini berdasarkan lafazh do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih,

أَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ

[As-aluka ladzdzatan nazhor ila wajhik, wasy-syauqo ilaa liqo'ik] “Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)…”[13].

3- Firman Allah Ta’ala,

{لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ}

“Mereka di dalamnya (surga) memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami (ada) tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala)” (QS Qaaf:35).

4- Firman Allah Ta’ala,

{كَلا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ}

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) pada hari kiamat benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka” (QS al-Muthaffifin:15).

Imam asy-Syafi’i ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Ketika Allah menghalangi orang-orang kafir (dari melihat-Nya) karena Dia murka (kepada mereka), maka ini menunjukkan bahwa orang-orang yang dicintai-Nya akan melihat-Nya karena Dia ridha (kepada mereka)”[14].

5- Demikian pula dalil-dalil dari hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menetapkan masalah ini sangat banyak bahkan mencapai derajat mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalur sehingga tidak bisa ditolak).

Imam Ibnu Katsir berkata, “(Keyakinan bahwa) orang-orang yang beriman akan melihat (wajah) Allah Ta’ala di akhirat nanti telah ditetapkan dalam hadits-hadits yang shahih, dari (banyak) jalur periwayatan yang (mencapai derajat) mutawatir, menurut para imam ahli hadits, sehingga mustahil untuk ditolak dan diingkari”[15].

Di antara hadits-hadits tersebut adalah dua hadits yang sudah kami sebutkan di atas. Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian (Allah Ta’ala pada hari kiamat nanti) sebagaimana kalian melihat bulan purnama (dengan jelas), dan kalian tidak akan berdesak-desakan dalam waktu melihat-Nya…”[16].

Kerancuan dan Jawabannya

Demikian jelas dan gamblangnya keyakinan dan prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini, tapi bersamaan dengan itu beberapa kelompok sesat yang pemahamannya menyimpang dari jalan yang benar, seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah, mereka mengingkari keyakinan yang agung ini, dengan syubhat-syubhat (kerancuan) yang mereka sandarkan kepada dalil (argumentasi) dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang kemudian mereka selewengkan artinya sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Akan tetapi, kalau kita renungkan dengan seksama, kita akan dapati bahwa semua dalil (argumentasi) dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka gunakan untuk membela kebatilan dan kesesatan mereka, pada hakikatnya justru merupakan dalil untuk menyanggah kebatilan mereka dan bukan untuk mendukungnya[17].

Di antara sybhat-syubhat mereka tersebut adalah:

1- Mereka berdalih dengan firman Allah Ta’ala,

{وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ}

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa:”Ya Rabbku, nampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. Allah berfirman:”Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:”Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman” (QS al-A’raaf:143).

Mereka mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah menolak permintaan nabi Musa ‘alaihis salam untuk melihat-Nya dengan menggunakan kata “lan” yang berarti penafian selama-lamanya, ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak akan mungkin bisa dilihat selama-lamanya[18].

Jawaban atas syubhat ini:

- Ucapan mereka bahwa kata “lan” berarti penafian selama-lamanya, adalah pengakuan tanpa dalil dan bukti, karena ini bertentangan dengan penjelasan para ulama ahli bahasa arab.

Ibnu Malik, salah seorang ulama ahli tata bahasa Arab, berkata dalam syairnya:

Barangsiapa yang beranggapan bahwa (kata) “lan” berarti penafian selama-lamanya

Maka tolaklah pendapat ini dan ambillah pendapat selainnya[19]

Maka makna yang benar dari ayat ini adalah bahwa Allah Ta’ala menolak permintaan nabi Musa ‘alaihis salam tersebut sewaktu di dunia, karena memang tidak ada seorangpun yang bisa melihat-Nya di dunia. Adapun di akhirat nanti maka Allah Ta’ala akan memudahkan hal itu bagi orang-orang yang beriman[20]. Sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketahuilah, tidak ada seorangpun di antara kamu yang (bisa) melihat Rabb-nya (Allah) Ta’ala sampai dia mati (di akhirat nanti)”[21].

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu: Apakah engkau telah melihat Rabb-mu (Allah Ta’ala)? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Dia terhalangi dengan hijab) cahaya, maka bagaimana aku (bisa) melihat-Nya?”[22]. Oleh karena itulah, Ummul mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Barangsiapa yang menyangka bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat Rabb-nya (Allah Ta’ala) maka sungguh dia telah melakukan kedustaan yang besar atas (nama) Allah” [23].

- Permintaan nabi Musa ‘alaihis salam dalam ayat ini untuk melihat Allah Ta’ala justru menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mungkin untuk dilihat, karena tidak mungkin seorang hamba yang mulia dan shaleh seperti nabi Musa ‘alaihis salam meminta sesuatu yang mustahil terjadi dan melampaui batas, apalagi dalam hal yang berhubungan dengan hak Allah Ta’ala. Karena permintaan sesuatu yang mustahil dan melampaui batas, apalagi dalam hal yang berhubungan dengan hak Allah Ta’ala hanyalah dilakukan oleh orang yang bodoh dan tidak mengenal Rabb-nya, dan nabi Musa ‘alaihis salam terlalu mulia dan agung untuk disifati seperti itu, bahkan beliau adalah termasuk nabi Allah Ta’ala yang mulia dan hamba-Nya yang paling mengenal-Nya[24].

Maka jelaslah bahwa ayat yang mereka jadikan sandaran ini, pada hakikatnya jutru merupakan dalil untuk menyanggah kesesatan mereka dan bukan mendukungnya.

2- Mereka berdalih dengan firman Allah Ta’ala,

{لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ}

“Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS al-An’aam:103).

Jawaban atas syubhat ini:

- Sebagian dari para ulama salaf ada yang menafsirkan ayat ini: “Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata di dunia ini, sedangkan di akhirat nanti pandangan mata (orang-orang yang beriman) bisa melihatnya[25].

- Dalam ayat ini Allah Ta’ala hanya menafikan al-idraak yang berarti al-ihaathah (meliputi/melihat secara keseluruhan), sedangkan melihat tidak sama dengan meliputi[26], bukankan manusia bisa melihat matahari di siang hari tapi dia tidak bisa meliputinya secara keseluruhan?[27]

- al-Idraak (meliputi/melihat secara keseluruhan) artinya lebih khusus dari pada ar-ru’yah (melihat), maka dengan dinafikannya al-Idraak menunjukkan adanya ar-ru’yah­ (melihat Allah Ta’ala), karena penafian sesuatu yang lebih khusus menunjukkan tetap dan adanya sesuatu yang lebih umum[28].

Sekali lagi ini membuktikan bahwa ayat yang mereka jadikan sandaran ini, pada hakikatnya jutru merupakan dalil untuk menyanggah kesesatan mereka dan bukan mendukungnya.

Penutup

Demikianlah penjelasan ringkas tentang salah satu keyakinan dan prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah yang agung, melihat wajah Allah Ta’ala. Dengan memahami dan mengimani masalah ini dengan benar, maka peluang kita untuk mendapatkan anugrah dan kenikmatan tersebut akan semakin besar, dengan rahmat dan karunia-Nya.

Adapun orang-orang yang tidak memahaminya dengan benar, apalagi mengingkarinya, maka mereka sangat terancam untuk terhalangi dari mendapatkan kemuliaan dan anugrah tersebut, minimal akan berkurang kesempurnaannya, na’uudzu billahi min dzaalik.

Dalam hal ini salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang mendustakan (mengingkari) suatu kemuliaan, maka dia tidak akan mendapatkan kemuliaan tersebut”[29].

Akhirnya kami berdoa kepada Allah Ta’ala dengan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas:

Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti)

dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 12 Rabi’ul awwal 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id
Diterbitkan di:

* ALLOH S.W.T

on Maret 15, 2010 at 10:40 am Tinggalkan sebuah Komentar
Seberapa Besarkah Bumi Kita? Allah Maha Besar!

Rasanya Bumi yang kelilingnya 40.000 km ini sangat besar bagi kita. Untuk pergi ke Amerika atau Afrika saja jauh sekali. Apalagi jika sampai harus ke Antartika.

Tapi coba kita lihat besar Bumi kita dengan ciptaan Allah lainnya. Ternyata tidak ada apa-apanya. Bahkan bintang yang terbesar pun hanya satu titik dibanding Galaksi, Cluster, Super Cluster, Jagad Raya.

Tapi di atas semua itu kita harus yakin bahwa Allah pencipta Semesta Alam jauh lebih besar dari semua itu. Allah Maha Besar!

Ukuran Bumi dibanding Planet Jupiter

Ukuran Bumi dibanding Matahari

Ukuran Matahari dibanding Bintang Arcturus

Ukuran Matahari dibanding Bintang Antares. Saat ini bumi sudah tidak bisa dilihat lagi.

Kalau anda menganggap Antares sudah sangat besar, ternyata bintang itu masih belum apa-apa dibanding dengan galaksi seperti Galaksi Bimasakti yang terdiri dari ratusan milyar bintang dengan lebar hingga 100 ribu tahun cahaya (1 detik cahaya=300.000 km).

Galaksi itu pun tidak seberapa jika dibanding dengan Cluster (Kumpulan) Galaksi yang terdiri dari ribuan Galaksi.

Tapi di atas Cluster masih ada Super Cluster yang terdiri dari ribuan Cluster. Ribuan Super Cluster akhirnya membentuk jagad raya.

Saat ini diperkirakan Jagad Raya (Universe) lebarnya 30 milyar tahun cahaya. Tapi ini cuma angka sementara mengingat teleskop tercanggih saat ini “cuma” bisa mencapai jarak 15 milyar tahun cahaya!

Jika dunia ini begitu luas, maka Allah menegaskan bahwa akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Jauh lebih luas lagi dari dunia!

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [Al Baqarah 255]

Maha Besar Allah Tuhan Pencipta Alam!

Maka bertasbihlah kepada Allah!

Mohon sampaikan ini kepada yang lain.

http://syiarislam.wordpress.com/2010/03/12/seberapa-besarkah-bumi-kita-allah-maha-besar
Diterbitkan di:

* ALLOH S.W.T
* PERLU KITA TAU

on at 9:51 am Tinggalkan sebuah Komentar
MEMAHAMI TAKDIR DENGAN BENAR
Keimanan seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun. Yang terakhir adalah beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk. Salah memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang. Terdapat beberapa permasalahan yang harus dipahami oleh setiap muslim terkait masalah takdir ini. Semoga paparan ringkas ini dapat membantu kita untuk memahami keimanan yang benar terhadap takdir Allah. Wallahul musta’an.

Antara Qodho’ dan Qodar

Dalam pembahasan takdir, kita sering mendengar istilah qodho’ dan qodar. Dua istilah yang serupa tapi tak sama. Mempunyai makna yang sama jika disebut salah satunya, namun memiliki makna yang berbeda tatkala disebutkan bersamaan.[1] Jika disebutkan qodho’ saja maka mencakup makna qodar, demikian pula sebaliknya. Namun jika disebutkan bersamaan, maka qodho’ maknanya adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan, maupun perubahan terhadap sesuatu. Sedangkan qodar maknanya adalah sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman azali. Dengan demikian qodar ada lebih dulu kemudian disusul dengan qodho’.[2]

Empat Prinsip Keimanan kepada Takdir

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah. Perlu kita ketahui bahwa keimanan terhadap takdir harus mencakup empat prinsip. Keempat prinsip ini harus diimani oleh setiap muslim.

Pertama: Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui dengan ilmunya yang azali dan abadi tentang segala sesuatu yang terjadi baik perkara yang kecil maupun yang besar, yang nyata maupun yang tersembunyi, baik itu perbuatan yang dilakukan oleh Allah maupun perbuatan makhluknya. Semuanya terjadi dalam pengilmuan Allah Ta’ala.

Kedua: Mengimanai bahwa Allah Ta’ala telah menulis dalam lauhul mahfudz catatan takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Tidak ada sesuatupun yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi kecuali telah tercatat.

Dalil kedua prinsip di atas terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِي السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {70}

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS. Al Hajj:70).

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ {59}

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”” (QS. Al An’am:59).

Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa salam,

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi”[3]

Ketiga: Mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik yang terjadi maupun yang tidak terjadi, baik perkara besar maupun kecil, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang terjadi di langit maupun di bumi. Semuanya terjadi atas kehendak Allah Ta’ala, baik itu perbuatan Allah sendiri maupun perbuatan makhluknya.

Keempat: Mengimani dengan penciptaan Allah. Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu baik yang besar maupun kecil, yang nyata dan tersembunyi. Ciptaan Allah mencakup segala sesuatu dari bagian makhluk beserta sifat-sifatnya. Perkataan dan perbuatan makhluk pun termasuk ciptaan Allah.

Dalil kedua prinsip di atas adalah firman Allah Ta’ala,

اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ وَكِيلٌ {62} لَّهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِئَايَاتِ اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ {63}

“.Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Az Zumar 62-63)

وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَعْمَلُونَ {96}

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“.” (QS. As Shafat:96).[4]

Antara Kehendak Makhluk dan Kehendak-Nya


Beriman dengan benar terhadap takdir bukan berarti meniadakan kehendak dan kemampuan manusia untuk berbuat. Hal ini karena dalil syariat dan realita yang ada menunjukkan bahwa manusia masih memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu.

Dalil dari syariat, Allah Ta’ala telah berfirman tentang kehendak makhluk,

ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَن شَآءَ اتَّخَذَ إِلىَ رَبِّهِ مَئَابًا {39}

“Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” (QS. An Nabaa’:39)

نِسَآؤُكُمْ حَرْثُ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ… {223}

“Isteri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. …”(Al Baqoroh:223)

Adapun tentang kemampuan makhluk Allah menjelaskan,

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ {16}

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu . Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghobun :16)

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ رَبَّنَا …{286}

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya….”(QS. Al Baqoroh:286)

Sedangkan realita yang ada menunjukkan bahwa setiap manusia mengetahui bahwa dirinya memiliki kehendak dan kemampuan. Dengan kehendak dan kemampuannya, dia melakukan atau meninggalkan sesuatu. Ia juga bisa membedakan antara sesuatu yang terjadi dengan kehendaknya (seperti berjalan), dengan sesuatu yang terjadi tanpa kehendaknya, (seperti gemetar atau bernapas). Namun, kehendak maupun kemampuan makhluk itu terjadi dengan kehendak dan kemampuan Allah Ta’la karena Allah berfirman,

لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}

“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwiir:28-29). Dan karena semuanya adalah milik Allah maka tidak ada satu pun dari milik-Nya itu yang tidak diketahui dan tidak dikehendaki oleh-Nya.[5]

Macam-Macam Takdir

Pembaca yang dirahmati Allah, perlu kita ketahui bahwa takdir ada beberapa macam:

[1] Takdir Azali. Yakni ketetapan Allah sebelum penciptaan langit dan bumi ketika Allah Ta’ala menciptakan qolam (pena). Allah berfirman,

قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلاَّ مَاكَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ {51}

“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At Taubah:51)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi”[6]

[2] Takdir Kitaabah. Yakni pencatatan perjanjian ketika manusia ditanya oleh Allah:”Bukankah Aku Tuhan kalian?”. Allah Ta’ala berfirman,

} وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ {172} أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَةً مِّن بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنًا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ {173}

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu ?” (QS. Al A’raaf 172-173).

[3] Takdir ‘Umri. Yakni ketetapan Allah ketika penciptaan nutfah di dalam rahim, telah ditentukan jenis kelaminnya, ajal, amal, susah senangnya, dan rizkinya. Semuanya telah ditetapkan, tidak akan bertambah dan tidak berkurang. Allah Ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِناَّ خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي اْلأَرْحَامِ مَانَشَآءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أُشُدَّكُمْ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّى وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلاَ يَعْلَمَ مِن بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى اْلأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَآ أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَآءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنبَتَتْ مِن كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ {5}

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al Hajj:5)

[5] Takdir Hauli. Yakni takdir yang Allah tetapkan pada malam lailatul qadar, Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi dalam satu tahun. Allah berfirman,

حم {1} وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ {2} إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ {3} فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ {4} أَمْرًا مِّنْ عِندِنَآ إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ {5}

“Haa miim . Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah , (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul” (QS. Ad Dukhaan:1-5)

[5] Takdir Yaumi. Yakni pnentuan terjadinya takdir pada waktu yang telah ditakdirkan sbelumnya. Allah berfirman,

يَسْئَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ {29}

“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan . “ (QS. Ar Rahmaan: 29). Ibnu Jarir meriwayatkan dari Munib bin Abdillah bin Munib Al Azdiy dari bapaknya berkata, “Rasulullah membaca firman Allah “ Setiap waktu Dia dalam kesibukan”, maka kami bertanya: Wahai Rasulullah apakah kesibukan yang dimaksud?. Rasulullah bersabda :” Allah mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan meninggikan suara serta merendahkan suara yang lain”[7]

Sikap Pertengahan Dalam Memahami Takdir

Diantara prinsip ahlus sunnah adalah bersikap pertengahan dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak sebagaimana sikap ahlul bid’ah. Ahlus sunnah beriman bahwa Allah telah menetapkan seluruh taqdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.

Adapun orang-orang yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah, mereka bersikap berlebih-lebihan. Yang satu terlalu meremehkan dan yang lain melampaui batas. Kelompok Qodariyyah, mereka mengingkari adanya takdir. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba bukan makhluk Allah, namun hamba sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Mereka mengingkari penciptaan Allah terhadap amal hamba.

Kelompok yang lain adalah yang terlalu melampaui batas dalam menetapkan takdir. Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah. Mereka berlebihan dalam menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak hamba dalam perbuatannya. Mereka mengingkari adanya perbuatan hamba dan menisbatkan semua perbuatan hamba kepada Allah. Jadi seolah-olah hamba dipaksa dalam perbuatannya.[8]

Kedua kelompok di atas telah salah dalam memahai takdir sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya firman Allah ‘Azza wa Jalla,

لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}

“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”(QS. At Takwiir:28-29)

Pada ayat (yang artinya), “ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk Jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi hamba. Hal ini bertentangan dengan keyakinan mereka yang mengatakan bahwa hamba dipaksa tanpa memiliki kehendak. Kemudian Allah berfirman (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” Dalam ayat ini terdapat bantahan untuk Qodariyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh hamba tanpa sesuai dengan kehendak Allah karena Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.[9]

Takdir Baik dan Takdir Buruk

Takdir terkadang disifati dengan takdir baik dan takdir buruk. Takdir yang baik sudah jelas maksudnya. Lalu apa yang dimaksud dengan takdir yang buruk? Apakah berarti Allah berbuat sesuatu yang buruk? Dalam hal ini kita perlu memahami antara takdir yang merupakan perbuatan Allah dan dampak/hasil dari perbuatan tersebut. Jika takdir disifati buruk, maka yang dimaksud adalah buruknnya sesuatu yang ditakdirkan tersebut, bukan takdir yang merupakan perbuatan Allah, karena tidak ada satu pun perbuatan Allah yang buruk. Seluruh perbuatan Allah mengandung kebaikan dan hikmah. Jadi keburukan yang dimaksud ditinjau dari sesuatu yang ditakdirkan/hasil perbuatan, bukan ditinjau dari perbuatan Allah. Untuk lebih jelasnya bisa kita contohkan sebagai berikut.

Seseorang yang terkena kanker tulang ganas pada kaki misalnya, terkadang membutuhkan tindakan amputasi (pemotongan bagian tubuh) untuk mencegah penyebaran kanker tersebut. Kita sepakat bahwa terpotongnya kaki adalah sesuatu yang buruk. Namun pada kasus ini, tindakan melakukan amputasi (pemotongan kaki) adalah perbuatan yang baik. Walaupun hasil perbuatannya buruk (yakni terpotongnya kaki), namun tindakan amputasi adalah perbuatan yang baik. Demikian pula dalam kita memahami takdir yang Allah tetapkan. Semua perbuatan Allah adalah baik, walaupun terkadang hasilnya adalah sesuatu yang tidak baik bagi hambanya.

Namun yang perlu diperhatikan, bahwa hasil takdir yang buruk terkadang di satu sisi buruk, akan tetapi mengandung kebaikan di sisi yang lain. Allah Ta’ala berfirman :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ {41}

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum:41). Kerusakan yang terjadi pada akhirnya menimbulkan kebaikan. Oleh karena itu, keburukan yang terjadi dalam takdir bukanlah keburukan yang hakiki, karena terkadang akan menimbulkan hasil akhir berupa kebaikan.[10]

Bersemangatlah, Jangan Hanya Bersandar Pada Takdir

Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami takdir. Mereka hanya pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sunngguh, ini adalah kesalahan yang nyata. Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa karena semuanya sudah merupakan ketetapan Allah. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.”[11] [12]

Faedah Penting

Keimanan yang benar terhadap takdir akan membuahkan hal-hal penting, di antaranya sebagai berikut :

Pertama: Hanya bersandar kepada Allah ketika melakukan berbagai sebab, dan tidak bersandar kepada sebab itu sendiri. Karena segala sesuatu tergantung pada takdir Allah.

Kedua: Seseorang tidak sombong terhadap dirinya sendiri ketika tercapai tujuannya, karena keberhasilan yang ia dapatkan merupakan nikmat dari Allah, berupa sebab-sebab kebaikan dan keberhasilan yang memang telah ditakdirkan oleh Allah. Kekaguman terhadap dirinya sendiri akan melupakan dirinya untuk mensyukuri nikmat tersebut.

Ketiga: Munculnya ketenangan dalam hati terhadap takdir Allah yang menimpa dirinya, sehingga dia tidak bersedih atas hilangnya sesuatu yang dicintainya atau ketika mendapatkan sesuatu yang dibencinya. Sebab semuanya itu terjadi dengan ketentuan Allah. Allah berfirman,

مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {22} لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ ءَاتَاكُمْ …{23}

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…” (QS. Al Hadiid:22-23).[13]

Demikian paparan ringkas seputar keimanan terhadap takdir. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahiladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat.

Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki

Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Diterbitkan di:

* ALLOH S.W.T
* ARTIKEL & GAMBAR

on Maret 4, 2010 at 4:23 am Tinggalkan sebuah Komentar
10 Hal yang Mendatangkan Cinta Allah

http://rgesit.blogdetik.com/files/2008/03/hnjaembpn.jpg

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.

Saudaraku, sungguh setiap orang pasti ingin mendapatkan kecintaan Allah. Lalu bagaimanakah cara cara untuk mendapatkan kecintaan tersebut. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa hal untuk mendapatkan maksud tadi dalam kitab beliau Madarijus Salikin.

Pertama, membaca Al Qur’an dengan merenungi dan memahami maknanya. Hal ini bisa dilakukan sebagaimana seseorang memahami sebuah buku yaitu dia menghafal dan harus mendapat penjelasan terhadap isi buku tersebut. Ini semua dilakukan untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh si penulis buku. [Maka begitu pula yang dapat dilakukan terhadap Al Qur’an, pen]

Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan ibadah yang sunnah, setelah mengerjakan ibadah yang wajib. Dengan inilah seseorang akan mencapai tingkat yang lebih mulia yaitu menjadi orang yang mendapatkan kecintaan Allah dan bukan hanya sekedar menjadi seorang pecinta.

Ketiga, terus-menerus mengingat Allah dalam setiap keadaan, baik dengan hati dan lisan atau dengan amalan dan keadaan dirinya. Ingatlah, kecintaan pada Allah akan diperoleh sekadar dengan keadaan dzikir kepada-Nya.

Keempat, lebih mendahulukan kecintaan pada Allah daripada kecintaan pada dirinya sendiri ketika dia dikuasai hawa nafsunya. Begitu pula dia selalu ingin meningkatkan kecintaan kepada-Nya, walaupun harus menempuh berbagai kesulitan.

Kelima, merenungi, memperhatikan dan mengenal kebesaran nama dan sifat Allah. Begitu pula hatinya selalu berusaha memikirkan nama dan sifat Allah tersebut berulang kali. Barangsiapa mengenal Allah dengan benar melalui nama, sifat dan perbuatan-Nya, maka dia pasti mencintai Allah. Oleh karena itu, mu’athilah, fir’auniyah, jahmiyah (yang kesemuanya keliru dalam memahami nama dan sifat Allah), jalan mereka dalam mengenal Allah telah terputus (karena mereka menolak nama dan sifat Allah tersebut).

Keenam, memperhatikan kebaikan, nikmat dan karunia Allah yang telah Dia berikan kepada kita, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah faktor yang mendorong untuk mencintai-Nya.

Ketujuh, -inilah yang begitu istimewa- yaitu menghadirkan hati secara keseluruhan tatkala melakukan ketaatan kepada Allah dengan merenungkan makna yang terkandung di dalamnya.

Kedelapan, menyendiri dengan Allah di saat Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir untuk beribadah dan bermunajat kepada-Nya serta membaca kalam-Nya (Al Qur’an). Kemudian mengakhirinya dengan istighfar dan taubat kepada-Nya.

Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang mencintai Allah dan bersama para shidiqin. Kemudian memetik perkataan mereka yang seperti buah yang begitu nikmat. Kemudian dia pun tidaklah mengeluarkan kata-kata kecuali apabila jelas maslahatnya dan diketahui bahwa dengan perkataan tersebut akan menambah kemanfaatan baginya dan juga bagi orang lain.

Kesepuluh, menjauhi segala sebab yang dapat mengahalangi antara dirinya dan Allah Ta’ala.

Semoga kita senantiasa mendapatkan kecintaan Allah, itulah yang seharusnya dicari setiap hamba dalam setiap detak jantung dan setiap nafasnya.

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa kunci untuk mendapatkan itu semua adalah dengan mempersiapkan jiwa (hati) dan membuka mata hati.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallalahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Sumber: Madaarijus Saalikin, 3/ 16-17, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Darul Hadits Al Qohiroh
Diterbitkan di:

* ALLOH S.W.T

on Maret 1, 2010 at 10:04 am Tinggalkan sebuah Komentar
Empat Kaidah Utama Dalam Memahami Tauhid
Aku memohon kepada Allah Al Karim Rabb pemilik Arsy yang agung semoga Dia melindungimu di dunia dan di akhirat. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu diberkahi di manapun kamu berada. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu termasuk di antara orang-orang yang bersyukur apabila diberi kenikmatan, bersabar ketika tertimpa cobaan, dan meminta ampunan tatkala terjerumus dalam perbuatan dosa, karena ketiga hal itulah tonggak kebahagiaan.

Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya, Al Hanifiyah yaitu agama yang diajarkan oleh Ibrahim ialah beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama (amal) untuk-Nya. Itulah perintah yang Allah berikan kepada segenap umat manusia dan hikmah penciptaan mereka.

Sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat [51]: 56). Apabila kamu telah menyadari bahwa kamu diciptakan untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya suatu ibadah tidaklah dianggap bernilai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya shalat yang tidak bisa disebut shalat apabila tidak disertai dengan thaharah (keadaan suci pada diri pelakunya, pen). Maka apabila syirik menyusupi suatu ibadah, niscaya ibadah itu menjadi rusak. Sebagaimana apabila ada hadats yang muncul pada diri orang yang sudah bersuci.

Apabila kamu sudah mengerti ternyata syirik itu apabila menyusupi ibadah akan menghancurkan ibadah tersebut dan menghapuskan amal, bahkan orang yang melakukannya menjadi tergolong penghuni kekal neraka, maka kini kamu pun telah mengerti bahwa perkara terpenting bagimu adalah memahami seluk beluknya. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan dirimu dari jebakan perangkap ini; yaitu kesyirikan terhadap Allah. Allah ta’ala berfirman tentang syirik ini (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik yaitu bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’ [4]: 48). Dan hal itu akan mudah kamu mengerti dengan mempelajari empat buah kaidah yang disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam kitab-Nya:

Kaidah Pertama

Hendaknya kamu mengerti bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah ta’ala sebagai pencipta dan pengatur segala urusan. Sedangkan pengakuan mereka ini tidaklah membuat mereka tergolong orang Islam. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah, Siapakah yang memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi. Atau siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan. Dan siapakah yang mampu mengeluarkan yang hidup dari yang mati serta mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Dan siapakah yang mengatur segala urusan, maka pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka katakanlah, ‘Lantas mengapa kalian tidak mau bertakwa?’.” (QS. Yunus [10]: 31)

Kaidah Kedua

Orang-orang musyrik tersebut mengatakan, “Kami tidaklah berdoa kepada mereka (sesembahan selain Allah, pen) dan bertawajjuh (menggantungkan harapan) kepada mereka melainkan hanya dalam rangka mencari kedekatan diri (di sisi Allah, pen) dan untuk mendapatkan syafa’at.”

Dalil yang menunjukkan bahwa mereka bertujuan mencari kedekatan diri adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengangkat selain-Nya sebagai penolong (sesembahan, pen) beralasan, ‘Kami tidaklah beribadah kepada mereka kecuali karena bermaksud agar mereka bisa mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah pasti akan memberikan keputusan di antara mereka terhadap perkara yang mereka perselisihkan itu. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang gemar berdusta dan suka berbuat kekafiran.” (QS. Az Zumar [39]: 3)

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa mereka juga mengharapkan syafaat dengan kesyirikan yang mereka perbuat adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan mereka beribadah kepada selain Allah; sesuatu yang sama sekali tidak mendatangkan bahaya untuk mereka dan tidak pula menguasai manfaat bagi mereka. Orang-orang itu beralasan, ‘Mereka adalah para pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah kelak.’.” (QS. Yunus [10]: 18)

Syafa’at ada dua macam:

Syafa’at yang ditolak dan syafa’at yang ditetapkan.

1. Syafa’at yang ditolak adalah syafa’at yang diminta kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai oleh Allah. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian rezeki yang Kami berikan kepada kalian sebelum tiba suatu hari yang pada saat itu tidak ada lagi jual beli, persahabatan, dan syafa’at. Sedangkan orang-orang kafir, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah [2]: 254)
2. Syafa’at yang ditetapkan adalah syafa’at yang diminta kepada Allah. Orang yang diperkenankan memberikan syafa’at berarti mendapatkan pemuliaan dari Allah dengan syafa’at tersebut. Adapun orang yang akan diberi syafa’at adalah orang yang ucapan dan perbuatannya diridhai Allah, dan hal itu akan terjadi setelah mendapatkan izin (dari Allah, pen). Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Lalu siapakah yang bisa memberikan syafa’at di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya?”. (QS. Al Baqarah [2]: 255)

Kaidah Ketiga

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul di tengah-tengah masyarakat yang memiliki peribadatan yang beraneka ragam. Di antara mereka ada yang beribadah kepada malaikat. Ada pula yang beribadah kepada para nabi dan orang-orang saleh. Ada juga di antara mereka yang beribadah kepada pohon dan batu. Dan ada pula yang beribadah kepada matahari dan bulan. Mereka semua sama-sama diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa sedikitpun membeda-bedakan di antara mereka. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan perangilah mereka semua hingga tidak ada lagi fitnah (syirik) dan agama (amal) semuanya hanya diperuntukkan kepada Allah.” (QS. Al Anfaal [8]: 39)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada matahari dan bulan adalah firman-Nya (yang artinya), “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kamu sujud kepada matahari ataupun bulan. Akan tetapi sujudlah kamu kepada Allah yang menciptakan itu semua, jika kamu benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. Fushshilat [41]: 37)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para malaikat adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan Allah tidak menyuruh kamu untuk mengangkat para malaikat dan nabi-nabi sebagai sesembahan.” (QS. Al ‘Imran [3]: 80)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para nabi adalah firman-Nya yang artinya, “Ingatlah ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putera Maryam, apakah kamu mengatakan kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sosok sesembahan selain Allah’? Maka Isa berkata, ‘Maha Suci Engkau ya Allah, tidak pantas bagiku untuk berucap sesuatu yang bukan menjadi hakku. Apabila aku mengucapkannya tentunya Engkau pasti mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, dan aku sama sekali tidak mengetahui apa yang ada di dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib.’.” (QS. Al Maa’idah [5]: 116)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada orang-orang salih adalah firman-Nya Yang Maha Tinggi (yang artinya), “Sosok-sosok yang mereka seru justru mencari wasilah kepada Rabb mereka; siapakah di antara mereka yang lebih dekat, dan mereka juga sangat mengharapkan curahan rahmat-Nya dan merasa takut dari azab-Nya.” (QS. Al Israa’ [17]: 57)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada pohon dan batu adalah firman-Nya Yang Maha Tinggi (yang artinya), “Kabarkanlah kepada-Ku tentang Latta, ‘Uzza, dan juga Manat yaitu sesembahan lain yang ketiga.” (QS. An Najm [53]: 19-20). Demikian juga ditunjukkan oleh hadits Abu Waqid Al Laitsi radhiyallahu’anhu. Beliau menuturkan, “Ketika kami berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Ketika itu kami masih dalam keadaan baru keluar dari agama kekafiran. Orang-orang musyrik ketika itu memiliki sebatang pohon yang mereka jadikan sebagai tempat i’tikaf dan tempat khusus untuk menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu disebut Dzatu Anwath. Ketika itu, kami melewati pohon tersebut. Lalu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami sebatang Dzatu Anwath seperti Dzatu Anwath yang mereka miliki.’.” (HR. Tirmidzi [2181], Ahmad dalam Musnadnya [5/218]. Tirmidzi mengatakan: hadits hasan sahih)

Kaidah Keempat

Orang-orang musyrik pada masa kita justru lebih parah kesyirikannya daripada orang-orang musyrik zaman dahulu. Sebab orang-orang terdahulu hanya berbuat syirik di kala lapang dan beribadah (berdoa) dengan ikhlas di kala sempit. Adapun orang-orang musyrik di masa kita melakukan syirik secara terus menerus, baik ketika lapang ataupun ketika terjepit. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apabila mereka sudah naik di atas kapal (dan diterpa ombak yang hebat, pen) maka mereka pun menyeru (berdoa) kepada Allah dengan penuh ikhlas mempersembahkan amalnya. Namun setelah Allah selamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba mereka kembali berbuat kesyirikan.” (QS. Al ‘Ankabuut [29]: 65)

Selesai, semoga shalawat dan doa keselamatan senantiasa tercurah kepada Muhammad, segenap pengikutnya, dan terutama para sahabatnya.

***

Penulis: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi
Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Diterbitkan di:

* ALLOH S.W.T

on Februari 22, 2010 at 3:34 am Tinggalkan sebuah Komentar
PENTINGNYA TAUHID
Tauhid adalah sesuatu yang sudah akrab di telinga kita. Namun tidak ada salahnya kita mengingat beberapa keutamaannya. Karena dengan begitu bisa menambah keyakinan kita atau meluruskan tujuan sepak terjang kita yang selama ini yang mungkin keliru. Karena melalaikan masalah tauhid akan berujung pada kehancuran dunia dan akhirat.

Tujuan Diciptakannya Makhluk Adalah untuk Bertauhid

Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz Dzariyaat: 56). Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata, yaitu tujuan mereka Kuciptakan adalah untuk Aku perintah agar beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka (Tafsir Al Qur’anul ‘Adzhim, Tafsir surat Adz Dzariyaat). Makna menyembah-Ku dalam ayat ini adalah mentauhidkan Aku, sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama salaf.

Tujuan Diutusnya Para Rasul Adalah untuk Mendakwahkan Tauhid

Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (An Nahl: 36). Thoghut adalah sesembahan selain Allah. Syaikh As Sa’di berkata, Allah Ta’ala memberitakan bahwa hujjah-Nya telah tegak kepada semua umat, dan tidak ada satu umatpun yang dahulu maupun yang belakangan, kecuali Allah telah mengutus dalam umat tersebut seorang Rasul. Dan seluruh Rasul itu sepakat dalam menyerukan dakwah dan agama yang satu yaitu beribadah kepada Allah saja yang tidak boleh ada satupun sekutu bagi-Nya (Taisir Karimirrohman, Tafsir surat An Nahl). Beribadah kepada Allah dan mengingkari thoghut itulah hakekat makna tauhid.

Tauhid Adalah Kewajiban Pertama dan Terakhir

Rasul memerintahkan para utusan dakwahnya agar menyampaikan tauhid terlebih dulu sebelum yang lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (Riwayat Bukhori dan Muslim). Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illalloh niscaya masuk surga.” (Riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Gholil).

Tauhid Adalah Kewajiban yang Paling Wajib

Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Allah mengampuni dosa selain itu bagi orang-orang yang Dia kehendaki.” (An Nisaa’: 116). Sehingga syirik menjadi larangan yang terbesar. Sebagaimana syirik adalah larangan terbesar maka lawannya yaitu tauhid menjadi kewajiban yang terbesar pula. Allah menyebutkan kewajiban ini sebelum kewajiban lainnya yang harus ditunaikan oleh hamba. Allah Ta’ala berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah pada kedua orang tua.” (An Nisaa’: 36)

Kewajiban ini lebih wajib daripada semua kewajiban, bahkan lebih wajib daripada berbakti kepada orang tua. Sehingga seandainya orang tua memaksa anaknya untuk berbuat syirik maka tidak boleh ditaati. Allah berfirman, “Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” (Luqman: 15)

Hati yang Saliim Adalah Hati yang Bertauhid

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah di dalam tubuh itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (Riwayat Bukhori dan Muslim). Allah Ta’ala berfirman, “Hari dimana harta dan keturunan tidak bermanfaat lagi, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang saliim (selamat).” (Asy Syu’araa’: 88-89). Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata, yaitu hati yang selamat dari dosa dan kesyirikan (Tafsir Al Qur’anul ‘Adzhim, Tafsir surat Asy Syu’araa’). Maka orang yang ingin hatinya bening hendaklah ia memahami tauhid dengan benar.

Tauhid Adalah Hak Allah yang Harus Ditunaikan Hamba

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah yang harus ditunaikan hamba yaitu mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun…” (Riwayat Bukhori dan Muslim). Menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya artinya mentauhidkan Allah dalam beribadah. Tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dalam beribadah, sehingga wajib membersihkan diri dari syirik dalam ibadah. Orang yang tidak membersihkan diri dari syirik maka belumlah dia dikatakan sebagai orang yang beribadah kepada Allah saja (diringkas dari Fathul Majid).

Ibadah adalah hak Allah semata, maka barangsiapa menyerahkan ibadah kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik. Maka orang yang ingin menegakkan keadilan dengan menunaikan hak kepada pemiliknya sudah semestinya menjadikan tauhid sebagai ruh perjuangan mereka.

Tauhid Adalah Sebab Kemenangan di Dunia dan di Akhirat

Para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor radhiyallahu ta’ala ‘anhum adalah bukti sejarah atas hal ini. Keteguhan para sahabat dalam mewujudkan tauhid sebagai ruh kehidupan mereka adalah contoh sebuah generasi yang telah mendapatkan jaminan surga dari Allah serta telah meraih kemenangan dalam berbagai medan pertempuran, sehingga banyak negeri takluk dan ingin hidup di bawah naungan Islam. Inilah generasi teladan yang dianugerahi kemenangan oleh Allah di dunia dan di akhirat.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Orang-orang yang terdahulu (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridho kepada mereka dan mereka pun telah ridho kepada Allah. Allah telah menyiapkan bagi mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At Taubah: 100)

Namun sangat disayangkan, kenyataan umat Islam di zaman ini yang diliputi kebodohan bahkan dalam masalah tauhid! Maka pantaslah kalau kekalahan demi kekalahan menimpa pasukan Islam di masa ini. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam akidah. Wallahu A’lam bish showaab.
Diterbitkan di:

* ALLOH S.W.T

on at 3:03 am Tinggalkan sebuah Komentar
SUNGGUH INDAH CIPTAAN ALLOH

SUBHANALLO…….SUBHANALLOH……SUBHANALLOH……..
Spoiler for wahh:
Spoiler for wahh:
Spoiler for wahh:
Spoiler for wahh:
Spoiler for wahh:

sumber :http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3348356
Diterbitkan di:

* ALLOH S.W.T
* ARTIKEL & GAMBAR

on Februari 12, 2010 at 1:14 am Tinggalkan sebuah Komentar
TANDA IKHLAS SEORANG HAMBA

Buku karangan Abdullah Gymnasiar. Berikut ini cuplikan isi buku tersebut.

NIAT YANG IKHLAS
http://farisds.files.wordpress.com/2008/11/aagym.jpg?w=470

Setiap hamba Allah memiliki kemampuan dan kemauan dalma beribadah yang berbeda-beda. Sedangkan nilai ibadah seorang hamba di hadapan Allah ditunjukkan dengan ikhlasnya dalam beramal. Tanpa keikhlasan takkan berarti apa-apa amal seorang hamba. Tidak akan ada nilainya di sisi Allah jika tidak ikhlas dalam beramal.

Niat adalah pengikat amal. Keikhlasan seseorang benar-benar menjadi teramat sangat penting dan akan membuat hidup ini menjadi lebih mudah, indah dan jauh lebih bermakna.

Balasan yang dinikmati oleh hamba Allah yang ikhlas adalah akan memperoleh pahala amal, walaupun amalan tersebut belum dilakukan. Disamping itu akan merasakan ketentraman jiwa, ketenangan batin. Betapa tidak? Karena dia tidak diperbudak oleh penantian untuk mendapatkan pujian, penghargaan atau imbalan. Dipuji atau tidak sama saja.

KONSENTRASIKAN AMALMU HANYA KEPADA ALLAH
Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak menyertakan kepentingan pribadi ataupuan imbalan duniawi dari apa yang dapaat dia lakukan. Konsentrasi orang ikhlas hanya satu, yakni bagaimana agar apa yang dilakukannya diterima oleh Allah.

Berhati-hatilah bagi orang-orang yang ibadahnya temporal, karena bisa jadi perbuatan tsb merupakan tanda-tanda keikhlasan belum sempurna. Yang ukuran nilai ibadahnya adalah duniawi. Misalnya ketika wudlu…ternyata disamping ada seoran gulaa yang cukup terkenal dan disegani, makan wudlu kita pun secara sadar atau tidak tiba-tiba dibagus-baguskan.

Hamba Allah yang ikhlas mampu beribadah secara istiqamah dan terus menerus kontinu. Orang-orang yang ikhlas adalah orang yang kualitas amalnya dalam kondisi ada atau tidak adanya orang yang memperhatikan adalah sama. Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas, ibadahnya justru lebih bagus ketika ada orang lain memperhatikannya.

Seorang pembicara yang tulus tidak harus merekayasa aneka kata-kata agar penuh pesona, tetapi dia usahakn agar setiap kata-kata yang diucapkan benar-benar menjadi kata-kata yang disukai Allah. Bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan maknanya. Selebihnya terserah Allah, kalau ikhlas walaupun sederhana kata-kata kita, Allah-lah yang Maha Kuasa menghunjamkannya ke dalam setiap kalbu.

Oleh karena itu tidak perlu terjebak oleh rekayasa-rekayasa. Allah samasekali tidak membutuhkan rekayasa karena Dia Maha Tahu segala lintasan hati, Maha Tahu segalanya! Semakin jernih, semakin bening, dan semakin bersih segala apa yang kita lakukan atau semakain seluruh aktivitas ditujukan semata-mata karena Allah, maka kekuatan Allah lah yang akan menolong segalanya.

IKHLAS, RAHASIA PARA KEKASIH ALLAH
http://i732.photobucket.com/albums/ww322/goncecs_fabregas/aagym2kw7copy.jpg

Seorang sahabat dengan mimik serius mengajukan sebuah pertanyaan,“Ya kekasih Allah, bantulah aku mengetahui perihal kebodohanku ini. Kiranya engkau dapat menjelaskan kepadaku, apa yang dimaksud ikhlas itu?“

Nabi SAW, kekasih Allah yang paling mulia bersabda,“Berkaitan dengan ikhlas, aku bertanya kepada Jibril a.s.apakah ikhlas itu?Lalu Jibril berkata,“Aku bertanya kepada Tuhan yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah ikhlas itu sebenarnya?“ Allah SWT yang Mahaluas Pengetahuannya menjawab,“Ikhlas adalah suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Kucintai.“(H.R Al-Qazwini)

Dari hadits diatas nampaklah bahwa rahasia ikhlas itu diketahui oleh hamba-hamba Allah yang dicintai-Nya. Untuk mengetahui rahasia ikhlas kita tidak lain harus menggali hikmah dari kaum arif, salafus shaalih dan para ulama kekasih Allah.

Antara lain Imam Qusyaery dalam kitabnya Risalatul Qusyairiyaah menyebutkan bahwa ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah sebagi satu-satunya sesembahan. Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk. Dikatakan juga keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari urusan individu manusia.

TANDA-TANDA IKHLAS SEORANG HAMBA
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwnuwR_wCAUWwCQ9I9zxdZxQyw5edrYby-FzTBVz10p4Zk9urhdouh2WU5X6kGv1Ajsr7RVujSO4uQhH2uxZ3YWGV572yLrtqasLLVRZtreWROimPtQ9oLV2JWukM7VpSnNgv38U4ZtlI/s400/AA+Gym+Core+2+Teteh.jpg

1. Tidak mencari populartias dan tidak menonjolkan diri
2. Tidak rindu pujian dan tidak terkecoh pujian.
Pujian hanyalah sangkaan orang kepada kita, padahal kita sendiri yang tahu keadaan kita yang sebenarnya. Pujian adalah ujian Allah, hampir tidak pernah ada pujian yang sama persis dengan kondisi dan keadaan diri kita yang sebenarnya.
3. Tidak silau dan cinta jabatan
4. Tidak diperbudak imbalan dan balas budi
5. Tidak mudah kecewa.

Seorang hamba Allah yang ikhlas yakin benar bahwa apa yang diniatkan dengan baik lalu terjadi atau tidak yang dia niatkan semuanya pasti telah dilihat dan dinilai oleh Allah SWT. Misal ketika kita menjenguk teman sakit di RS luar kota, ternyata ketika kita sampai yang bersangkutan telah sembuh dan pulang. Tentu sjaa kita tidka harus kecewa karena niat dan perjalan termasuk ongkos dan keletihannya sudah mutlak tercata dan tidak akan disia-siakan Allah.

Seorang hamba yang ikhlas sadar bahwa manusia hanya memiliki kewajiban menyempurnakan niat dan menyempurnakan ikhtiar. Perkara yang terbaik terjadi itu adalah urusan Allah.

Masalah kekecewaan yang wajar adalah jika berhubungan dengan urusan dengan Allah, kecewa ketika ternyata sholatnya tidak khusyu‘, ibadahnya tidak meningkat dsb.nya.

6. Tidak membedakan amal yang besar dan amal yang kecil
7. Tidak fanatis golongan
8. Ridha dan marahnya bukan karena perasaan pribadi
9. Ringan. Lahap dan nikmat dalam beramal
10. Tidak egis karena sellau mementingkan kepentingan bersama.
11. Tidak membeda-bedakan pergaulan.

IKHLASNYA SEORANG MUQARABBIN
http://rifafreedom.files.wordpress.com/2008/10/8858_aa_gym_doknova.jpg?w=470

Dalam kitab Al Hikan, karya Syeikh Ibnu Atho’ilah tentang kedudukan seorang hamba dalam amal perbuatannya, terdapat dua tingkatan kemuliaan seorang hamba ahli ikhlas, yakni hamba Allah yang abrar dan yang muqarrabin.

Keikhlasan seorang abrar adalah apabila amal perbuatannya telah bersih dari riya‘ baik yang jelas maupun tersamar. Sedangkan tujuan amal perbuatannya selalu hanya pahala yang dijanjikan Allah SWT. Adapun keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin adalah ia merasa bahwa semua amal kebaikannya semata-mata karunia Allah kepadanya, sebab Allah yang memberi hidayah dan taufik.

Dengan kata lain, amalan seorang hamba yang abrar dinamakan amalan lillah, yaitu beramal karena Allah. Sedangkan amalan seorang hamba yang muqarrabin dinamakan amalan billah, yaitu beramal dengan bantuan karunia Allah. Amal lillah menghasilkan sekedar memperhatikan hukun dzahir, sedang amal billah menembus ke dalam perasaan kalbu.

Pantaslah seorang ulama ahli hikmah menasihatkan,“Perbaikilah amal perbuatanmu dengan ikhlas, dan perbaikilah keikhlasanmu itu dengan perasaan bahwa tidak ada kekuatan sendiri, bahwa semua kejadian itu hanya semata-mata karena bantuan pertolongan Allah saja.“

Tentulah yang memiliki kekuatan dashyat adalah keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin yang senantiasa mendekatkan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla
Diterbitkan di:

* ALLOH S.W.T
* MOTIVASI

on Februari 3, 2010 at 2:47 am Tinggalkan sebuah Komentar
ALLOH…..ALLOH…..ALLOH
The Name of ” ALLAH
//

” Tiada kata2 yg seindah Nama – Mu “

[/SPILER]

ALLAH….

sumber :http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3219826

Read more: http://unic77.blogspot.com/2010/01/name-of-allah.html#ixzz0eLBFuYXd
Diterbitkan di:

* ALLOH S.W.T
* ARTIKEL & GAMBAR

on Februari 2, 2010 at 2:14 am Tinggalkan sebuah Komentar
MENGENAL ALLOH
Selasa, 27 Mei 2003 - 09:10:04, Penulis : Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah an Nawawi
Kategori : Aqidah
Mengenal Allah

Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya.

Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?

Kalau mengenal Allah sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.

Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup.

Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya?

Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal.

Mengenal Allah ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.

Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik global maupun terperinci.

Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190)

Juga dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 164)

Mengenal Wujud Allah.

Yaitu beriman bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syari’at.

Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)

Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 41-45)

Mengenal Rububiyah Allah
Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 14)

Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah.

Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)

Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.

Dalam masalah rububiyah Allah sebagian orang kafir jahiliyah tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?

Allah telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah:

“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 )

Kedua, agar mereka memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman:

“Dan mereka menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)

Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa firman-Nya: “Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87)

“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah.” (QS. Al Ankabut: 61)
“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Al Ankabut: 63)

Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid Rububiyah Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.

Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.

Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah.

Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya.

Mengenal Uluhiyah Allah

Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.
Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sabda beliau:
“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

Allah berfirman:
“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)

Allah berfirman:
“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)

Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ya. Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu )

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu )

Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.

Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah.”

Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah

http://www.miit-toronto.org/images/asmaul_Husna.jpgMaksudnya, kita beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah:

“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)

“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)

Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36)

Ketika berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah berfirman:
“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEih1vnojItKwO1hhgqKQ3OLKWSOsfsh7TkTYC6EMghBSXu6wLlhziCo7I7vLGgOSb8rI86CvPz12mOXH7vFrgvQx9alpsFQoGom5Yj14P3INxO0IfPu56wc9R5hrs9TaYUES4vlIEa1tnQ/s400/asma-ul-husna-3.jpg “Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36)

Wallahu ‘alam

*
HIDUP TERUS BERBAKTI WALAU TIDAK DIPUJI
AL-QURAN ALLOH S.W.T AMAL SOLEH ANAK KITA ANEH ARTIKEL ARTIKEL & GAMBAR DO'A ETIKA MUSLIM FIQIH HADIST HAROKAH HUMOR IKHWANUL MUSLIMIN JAMA'AH TABLIGH KATA MUTIARA KISAH TELADAN LAIN-LAIN MASJID MOTIVASI NABI & ROSULULLOH SAW NIKAH PANTUN PERLU KITA TAU ROKOK SHOLAT KITA SYIAH TIPS TOKOH ISLAM WANITA MUSLIMAH
*
TIADA HARI TANPA ILMU & DAKAWAH

0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

Sponsor

picture widgets

BThemes

Follow us

 
© , | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger